Opini
Transisi Kebijakan Energi Bersih terhadap Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintah tidak boleh gegabah dan tanpa berpikir dampak jangka panjang dari kebijakan yang diambilnya atas stabilitas pengelolaan perekonomian nasional serta imbal baliknya (trade off). Terlebih lagi, disaat kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi Covid19 yang tidak konsisten bagi stabilitas jalannya perekonomian bangsa dan negara disegala bidang atau sektor. Pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai dalam keadaan normal (periode 2014-2019) sebelum pandemi Covid19 melanda juga tidak ada perubahan, berkisar pada angka 4-5 persen saja. Dan, menjadi aneh serta tanda tanya besar bagi publik saat pertumbuhan ekonomi pada Semester I-2021 melejit ke angka 7,07 persen.
Maka itu, terkait tanggapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif atas kebijakan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium yang akan dihapus saat dipertanyakan oleh anggota Komisi VII DPR yang menyatakan kekhawatirannya terhadap beban yang akan dihadapi oleh masyarakat di kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), memang perlu menjadi pertimbangan matang.
Untuk itu, kami meminta Kementerian ESDM untuk secara serius memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Berdasar publikasi data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2021, terdapat peningkatan jumlah angka kemiskinan mencapai 27,54 juta orang. Jumlah itu membuat tingkat kemiskinan mencapai 10,14 persen dari total populasi nasional.
2 Terhadap perubahan konsumsi jenis BBM premium ke pertalite bagaimanakah kebijakan skema alokasi subsidi dan insentif yang akan ditempuh seiring terjadinya peningkatan harga keekonomian minyak mentah dunia yang berfluktuasi diantara US$60-75 per barrel, apa saja kebijakan yang sudah diambil oleh Kementerian ESDM terhadap kondisi ini terkait dengan beban penugasan ke BUMN Pertamina?
3. Terkait dengan peta jalan (roadmap)BBM saat ini sesuai dengan program Langit Biru yang dijalankan Pertamina, memang telah terjadi perubahan tingkat penjualan atas pertalite secara drastis terutama pada saat pandemi dan harga minyak mentah (crude) turun, namun konsistensi kebijakan pemerintah atas subtitusi produk energi, khususnya BBM dan komitmen energi bersih lingkungan harus memperhatikan kajian mendalam manfaat dan dampaknya bagi masyarakat luas, terutama kelompok masyarakat miskin.
4. Memperhatikan 3 (tiga) faktor di atas, kami meminta Komisi VII DPR RI dan Kementerian ESDM sebagai pemangku kebijakan untuk tidak saja berkomitmen atas perlunya kebijakan energi bersih lingkungan dengan membandingkannya dengan negara lain, seperti contoh salah satu negara Vietnam yang dijadikan rujukan disatu sisi.
Disisi lain mengabaikan negara-negara lain seperti USA dan kawasan Eropa yang mengimpor batu bara dari Indonesia adalah sangat bait, selain itu tanpa memperhatikan adanya sosialisasi dan iklim kebijakan yang komprehensif melandasinya kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), misalnya juga terkait dengan pemilihan (preferensi) kebijakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang tidak memperhatikan skala ekonomis dan ketersediaan relatif cukup atas potensi lebih besar sumber energi alternatif lainnya di tanah air.
Oleh karena itu, kami meminta Presiden Joko Widodo memberikan perhatian serius atas kebijakan energi bersih lingkungan ini, terutama berhubungan dengan kapasitas ekonomi masyarakat Indonesia ditengah pandemi Covid-19, mobilitas masyarakat yang masih terhambat oleh kebijakan pengendalian dari pemerintah sendiri yang tidak sejalan dengan mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan konsistensi kebijakan, lebih khusus pada kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang harus dipenuhi. (*)
* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta