Ekonomi & Pariwisata
Tatanan Dunia Baru Dalam Mengantisipasi Krisis Ekonomi Kembali Berulang
Negara-negara didunia harus mencari rumusan alternatif secara bersama dan komprehensif terkait kemajuan perkembangan perekonomian mutakhir, khususnya pertumbuhan dan pemerataan hasil-hasil ekonomi bagi negara berkembang pasca pandemi Covid-19.
Selama hampir 20 Tahun lebih (sejak krisis ekonomi 1997 dan 2008) negara-negara berkembang (the emerging market) telah didorong untuk membuka diri dalam perdagangan bebas (world trade) dan keuangan terbuka (financial and economic liberalization) diantaranya di sektor moneter dan fiskal dengan alasan menyelamatkan perekonomian negara-negara di dunia dari krisis ekonomi dan depresi besar.
Faktanya justru kendali atau pendulum ekonomi struktural, sektoral dan regional tidak berubah sama sekali, sebaliknya kelompok yang besar menjadi semakin mendominasi ekonomi dunia, dan yang kecil semakin termarginalisasikan.
Namun demikian, beberapa permasalahan atas meningkatnya resiko dan ketidakpastian perekonomian global bahkan juga terjadi melalui indikasi pertumbuhan ekonomi yang pesat dan dinikmati oleh Amerika Serikat dan RRC di satu sisi.
Sementara di sisi yang lain, justru berbagai negara malah mengalami pertumbuhan ekonomi yang lemah dan tidak stabil disebabkan oleh inovasi teknologi dan perang dagang yang membuat pengaruh pada industri sektoral negara-negara yang sedang tumbuh oleh tekanan pasar bebas global ini.
Artinya, keberhasilan sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme dalam mengatasi krisis ekonomi dan depresi dunia hanya semu dan akan memunculkan krisis ekonomi baru di masa depan.
Diantaranya, yaitu adanya kekhawatiran dan keprihatinan atas terjadinya ancaman dan krisis lebih dalam akibat persaingan penguasaan kapital dan sumber daya alam oleh hanya beberapa negara maju.
Jika hal ini tidak diatasi dengan kekuatan menolong diri sendiri oleh beberapa negara berkembang (alliancehelp) atau hanya mengandalkan bantuan asistensi International Monetary Fund (IMF) dan The World Bank (WB), maka potensi keterpurukan dan kehancuran ekonomi dunia, baik yang terjadi akibat perang dagang antar negara maju (manusia) dan menjurus ke arah perang dunia ke-3, maupun yang terjadi secara alamiah (bencana alam) semakin nyata.
Oleh sebab itu, perlunya sebuah tatanan perekonomian melalui sistem ekonomi dunia baru yang lebih berkeadilan untuk mengantisipasi terjadinya keadaan lebih buruk lagi sebuah keniscayaan, khususnya untuk mengatasi dampak negatif meningkatnya utang luar negeri.
Semangat kebersamaan dan kekeluargaan/kemitraan (koperasi dan kolaborasi) dalam mengatasi permasalahan ketimpangan ekonomi dunia yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia dihadapan delegasi pertemuan IMF-WB di Bali yang disampaikan Presiden Republik Indonesia tersebut, merupakan hakikat ekonomi konstitusi yang telah disosialisasikan dengan cara yang sangat elegan.
Tawaran alternatif inlah yang memperoleh sambutan tepuk tangan sambil berdiri (standing ovation) meriah dari para hadirin dan semoga bisa menjadi alternatif arus utama siatem ekonomi dunia yang dibahas dalam forum IMF-WB tersebut. Tentu kita bangga menjadi bangsa Indonesia memiliki Presiden yang mampu mensosialisakan hakikat ekonomi konstitusi dalam mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan sumberdaya ekonomi di dunia, termasuk juga implementasinya di Indonesia melalui penguatan kelembagaan Koperasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Perusahaan Negara, serta sinergi dan kolaborasi kedua entitas ekonomi ini.
Kesenjangan dalam Kapitalisme
Salah satu upaya menyusun tatanan dunia baru setelah berakhirnya Perang Dunia ke-2 adalah dengan membangun kerjasama internasional dan mengurangi ketimpangan (kemiskinan dan pengangguran) dan pembangunan kembali (rekonstruksi) wilayah yang hancur akibat peperangan, khususnya negara-negara Eropa.
Atas dasar itulah, pada bulan Juli 1944 sebelum berakhirnya Perang Dunia ke-2 perwakilan negara yang terlibat dalam peperangan, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia serta beberapa negara lainnya mengadakan pertemuan di Bretton Woods dan merupakan inisiatif awal berdirinya IMF dan WB yang kemudian secara resmi didirikan pada Tahun
1945. Semenjak didirikan, keanggotaan IMF dan WB telah mencapai 189 negara sebagaimana mengikuti keanggotaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berdiri pada tanggal 24 Oktober 1945. Misi utama IMF dan WB pada awalnya sangat mulia, tak berbeda dengan PBB, yaitu berperan aktif dalam menciptakan perdamaian, kemanusiaan dan keadilan dunia melalui pembangunan yang berperadaban, utamanya di bidang ekonomi, yang meliputi kerjasama moneter internasional, stabilitas finansial, perdagangan internasional, penyerapan tenaga kerja dan program pengentasan kemiskinan.
Namun, fakta tak terbantahkan sampai dengan abad ke- 21 ini, adalah munculnya proses dehumanisasi, ketidakdamaian, ketidakadilan, dan ketidakberadaban negara-negara di dunia yang justru terjadi secara dominan di sektor ekonomi dan merupakan tanggungjawab IMF dan Bank Dunia.
Sejarah krisis ekonomi pun terjadi berulangkali, mulai dari depresi besar (great depression) Tahun 1929 yang dipicu oleh terjadinya Perang Dunia I pada Tahun 1914, kemudian terjadi lagi pada Tahun 1953, Tahun 1973 yang ditandai oleh krisis minyak dunia, Tahun 1980 yang ditandai oleh krisis Timur Tengah atas peperangan Irak-Iran, Tahun 1990 yang kemudian menjalar ke Indonesia menjadi krisis politik.
Selama berdirinya IMF dan WB telah banyak kontribusi yang diberikan oleh lembaga ini terhadap pembangunan dan berbagai penyelesaian krisis ekonomi yang terjadi pada negara-negara anggotanya. Sayangnya, sampai sejauh ini tak ada satupun faktor keberhasilan (success factor) yang dapat dijadikan acuan sebagai penanganan krisis terbaik yang berhasil dilakukan di suatu negara, khususnya negara-negara kawasan Asia-Afrika (seperti Tanzania, Uganda, Somalia, Afrika Selatan dan lain-lain) dan Amerika Latin (Meksiko, Brazil, dan Argentina).
Sebagai contoh terakhir adalah krisis ekonomi Tahun 1990-an yang terjadi di Meksiko pada Tahun 1995 kemudian merembet ke kawasan Asia, Thailand, Malaysia dan Indonesia pada Tahun 1998. Bahkan di Eropa sendiri, IMF dan WB gagal mengatasi krisis di Yunani yang terjadi pada Tahun 2011 sehingga menjalar ke Argentina, Spanyol, Perancis, dan Yunani. Yunani sebagai sebuah negara kecil yang hanya berpenduduk 11 juta orang menuju ambang kebangkrutan akibat ketidakmampuan membayar utang luar negeri yang membengkak kepada IMF sebesar Rp 22 Triliun pada tanggal 30 Juni 2015.
Jumlah total utang Yunani saat krisis (sebelum dapat tawaran pinjaman lagi Tahun 2015) adalah sebesar €360 Milyar atau Rp 5.000 Triliun dengan rasio utang terhadap PDB adalah 155,3 persen.
Kenapa hal ini terjadi pada Yunani yang penduduknya hanya 16 persen dari penduduk di Provinsi Jawa Barat, adalah karena penjualan surat utang (global bond) atau obligasi kepada investor yang begitu massif dilakukan sehingga menggerogoti perekonomian dan keuangan negara Yunani.
Pada akhir Yunani menolak syarat utang baru yang diajukan IMF dan WB, dan tentu saja penolakan ini konsekuensinya adalah tak memperoleh dana segar dari IMF dan Eropa untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran yang saat itu sudah mencapai 25 persen.
Dari rekam jejak ini dapat disimpulkan, bahwa IMF dan WB selalu menggunakan satu resep dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di suatu negara, yaitu melalui UTANG. Melalui kebijakan ini pulalah stabilitas ekonomi di negara-negara Afrika tidak bisa ditangani dengan baik, justu yang terjadi adalah perang saudara di masing-masing negara tersebut.
Selama 5 (lima) tahun berlalu, tingkat pengangguran dunia berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB, 2013-2018) berkisar antara 0,10 persen sampai dengan 46,10 persen, dan rata-rata persentase tertinggi terjadi di negara-negara kawasan Asia-Afrika.
Persentase pengangguran terendah di dunia terdapat di negara Qatar, yaitu 0,10 persen, lalu diikuti oleh Kamboja dengan tingkat pengangguran sebesar 0,30 persen dan Belarus sebesar 0,40 persen. Sedangkan negara dengan persentase pengangguran tertinggi adalah Kongo, yaitu 46,10 persen, diikuti oleh Bosnia Herzegovina sebesar 35,86 persen dan Namibia sebesar 34 persen. Sementara itu, persentase pengangguran di Indonesia adalah sebesar 5,13 persen, masih tinggi dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Kamboja yang hanya sebesar 0,30 persen, Laos sebesar 0,40 persen, dan Myanmar yang sebesar 0,70 persen (padahal negara-negara ini baru selesai berkonflik Tahun 1990-an).
Dua tahun setelah itu, juga mengacu pada data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan Januari 2020, lebih dari 470 juta penduduk dunia menganggur atau setengah menganggur. Dan, minimnya akses terhadap pekerjaan yang layak bagi penduduk dunia akan berkontribusi pada sejumlah kerusuhan sosial di berbagai negara. Jumlah penduduk dunia yang tercatat menganggur diperkirakan meningkat dari 188 juta pada Tahun 2019 menjadi 190,5 juta pada tahun 2020.
Pada saat yang sama, sekitar 285 juta penduduk dunia dianggap menganggur, yaitu mereka yang menjalani pekerjaan namun tidak sesuai dengan harapan, berhenti mencari kerja, atau kurang memiliki akses pada pasar tenaga kerja. Jika kedua kategori tersebut ditotal jumlahnya, maka angka itu mewakili 13 persen tenaga kerja di seluruh dunia.
Salah satu negara yang mengalami kenaikan angka pengangguran paling tinggi yaitu Amerika Serikat, pada Tahun 2019 hanya 3,7 persen, lalu melonjak tinggi menjadi 10,4 persen pada Tahun 2020 disebabkan oleh adanya pandemi Covid19. Sementara itu, angka pengangguran tertinggi pada masa pandemi Covid19 terjadi di Italia, dari 10 persen pada Tahun 2019, menjadi 12,7 persen pada Tahun 2020. Disusul oleh Perancis, dari 8,5 persen pada Tahun 2019 menjadi 10,4 persen di Tahun 2020. Kemudian, negara-negara lainnya (European Area), dari 7,6 persen pada Tahun 2019, menjadi 10,4 persen di Tahun 2020
Di Asia, sejumlah negara tak luput dari gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), diantaranya Jepang, dari 2,4 persen pada Tahun 2019 menjadi 3 persen di Tahun 2020, Korea Selatan dari 3,8 persen (2019) menjadi 4,5 persen (2020), dan Hongkong dari 3 persen (2019) menjadi 4,5 persen (2020).
Sistem Ekonomi "Baru"
Pasca runtuhnya tembok Berlin pada tanggal 3 Oktober 1990 yang menandai reunifikasi Jerman (Barat dan Timur), maka hampir tak ada satupun negara yang menerapkan sistem ekonomi komunisme secara utuh. Dengan demikian, dominasi dan hegemoni kapitalisme menjadi kian terbuka, termasuk ke Indonesia dengan terbitnya UU sektoral yang liberal tanpa merujuk pada konstitusi pasal 33 UUD 1945.
Liberalisme pasar dan kapitalisme ekonomi telah memungkinkan pula pergerakan modal asing yang lebih massif saat struktur dan kultural kebutuhan ekonomi belum menjadi pola pikir (mindset) suatu negara dalam menyusun prioritas pembangunan. Tak heran, sebagian besar negara mengulangi kesalahan negara lain dalam merencanakan prioritas pembangunan, yaitu dengan menekankan pada pemenuhan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, irigasi, bendungan dan lain-lain melalui skema utang luar negeri IMF dan WB, yang membuat dominasi dan hegemoni negara-negara maju semakin kokoh,sedang negara-negara berkembang menjadi korban.
Dominasi dan hegemoni ini harus dihentikan atas nama perebutan kekuasaan dengan membangun kekuatan dunia baru melalui usaha bersama sebagai warga bangsa dunia.
Pada pertemuan IMF dan WB di Bali pada tanggal 8-14 Oktober 2018 lalu, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo telah memberikan masukan (input) melalui analogi cerita dalam film Game of Throne kepada para delegasi negara-negara di dunia. Presiden menyampaikan pesan, bahwa dunia membutuhkan koperasi (cooperation) dan kolaborasi (collaboration), bukan dominasi dan hegemoni satu atau beberapa negara atas negara lain dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan dan krisis ekonomi. *
Sebagai negara, maka Pemerintah Indonesia terikat pula pada komitmen yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu tujuan membentuk pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat, adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Artinya, bahwa ketertiban dunia hanya akan terjadi apabila juga terjadi perdamaian dan keadilan sosial bagi bangsa-bangsa di dunia yang saat ini masih menghadapi permasalahan ketimpangan penguasaan ekonomi.
Dalam konteks pidato Presiden Joko Widodo soal koperasi dan kolaborasi, maka yang disampaikan itu adalah pernyataan konstitusi ekonomi NKRI pasal 33 UUD 1945 ayat 1, bahwa: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Dengan demikian, ayat 2 dari pasal 33 yang menyatakan, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara adalah bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran semua orang bukan orang per orang merupakan ruang bagi peran negara.
Peran negara sangat penting dalam mengatasi ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan pengangguran berdasarkan amanat konstitusi ini. Perdebatan atas peran negara di sektor ekonomi yang menjadi sumber tafsir dan perdebatan antara kalangan akademisi (sebagian besar ekonom) dan praktisi ekonomi yang menganggap negara melalui pemerintah hanya sebatas pembuatan kebijakan (public regulation) untuk mengatur seluruh sektor ekonomi, sedangkan pelaku ekonominya diserahkan ke pasar (swasta atau individu dan kelompok) dan negara tak boleh turut campur, seharusnya sudah selesai.
Oleh sebab itu, perumusan masalah dominasi dan hegemoni sistem ekonomi kapitalisme-liberalisme dan peran negara-negara di dunia dalam melakukan intervensi atas penguasaan sumber daya ekonomi yang terbatas (limited resources) saat ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi perbaikan kebijakan ekonomi dan keuangan IMF-WB tersebut.
Paradigma utang yang selama ini sangat besar untuk pembangunan infrastruktur yang diberikan kepada negara-negara berkembang supaya tidak mengulangi krisis keuangan dan kebangkrutan yang dialami oleh Yunani harus dipandang dalam perspektif yang lebih proporsional dan penanganan yang lebih berkeadilan serta berperikemanusiaan.
Keperluan berutang suatu negara secara makro, jika mengacu pada analisa kebutuhan yang disampaikan teori Maslow secara mikro, bahwa kebutuhan dasar manusia adalah pangan, sandang dan papan sebelum masuk ke jenjang kebutuhan selanjutnya.
Untuk itu, dalam konteks negara, maka orientasi pembangunan ekonomi yang lebih prioritas adalah membangun infrastruktur yang menunjang pemenuhan kebutuhan pokok manusia ini secara mandiri sesuai kandungan lokal (local contents) agar terjadi pertumbuhan ekonomi.
Bergeraknya sektor ekonomi produktif masyarakat suatu negara melalui koperasi dan kolaborasi tentu akan memampukan pemerintahnya dalam membangun infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan dan lain-lain dengan menetapkan kebijakan perpajakan secara mandiri dan kebutuhan utang luar negeri yang semakin minimal.
Relevan kiranya bagi IMF dan WB untuk mereformasi dan mengkaji kembali (review) secara kelembagaan ide awal berdirinya lembaga ini dalam membangun kerja sama ekonomi, moneter dan perdagangan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi negara-negara di dunia atas kebijakan utangnya untuk pembangunan infrastruktur di negara berkembang.
Agak aneh, jika keperluan dan kebijakan utang diarahkan untuk membangun infrastruktur yang dioperasikan secara ekonomis dan bisnis, sementara sektor ekonomi produktif tak berjalan.
Akibat dari keperluan berutang seperti ini menyebabkan dana utang tertanam sangat lama dan potensi kerusakan lebih cepat karena faktor iklim dan geografis. Sebaiknya, pembangunan infrastruktur suatu negara lebih banyak diakomodasi oleh IMF dan WB melaui dana hibah dari berbagai negara anggotanya yang merupakan latar belakang mulia saat lembaga ini didirikan untuk membantu rekonstruksi negara Eropa pasca Perang Dunia ke-2. Memaksakan keperluan berutang untuk sektor ini, maka akan menciptakan krisis ekonomi baru di negara lain, alih alih keberhasilan IMF dan WB dalam menyelamatkan negara berutang yang tak teratasi. (*)
*Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta