Opini
Sarung 'Kemiskinan' Pemerintahan
Rapat Dengar Pendapat (RDP) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) antara wakil rakyat dengan rekan kerjanya Pemerintah, yaitu para Menteri sebagai pembantu Presiden maupun jajaran Direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memang rutin dilakukan.
Biasanya, suasana selalu resmi (formal) membahas capaian kinerja kementerian/lembaga dan BUMN serta berbagai permasalahan yang dihadapi. Tiba-tiba, sebaliknya yang terjadi dalam RDP Komisi VII DPR RI dengan mitra kerjanya BUMN Pertamina pada Hari Selasa 4 April 2023. Sebuah percakapan non formal ditengah kegiatan formal lalu tersiar luas (viral) melalui video ke hadapan masyakat.
Anggota Komisi VII DPR-RI awalnya memang membahas soal insiden kebakaran Kilang Minyak Putri Tujuh Pertamina Refinery Unit (RU) II yang terjadi di Dumai, Provinsi Riau pada hari Sabtu 1 April 2023, sekitar pukul 22.40 WIB. Suasana rapat resmi sebagaimana biasa dilakukan DPR berubah menjadi seperti perbincangan di warung kopi saja.
Ada suatu pernyataan dan permintaan yang biasanya kalimat itu diungkapkan oleh rakyat biasa berpenghasilan kurang mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
Adalah Ramson Siagian (Fraksi Gerindra) yang menyahuti pernyataan dari Muhammad Nasir (Fraksi Demokrat) soal kurangnya sedekah BUMN Pertamina kepada Direktur Utama-nya (Dirut) Nicke Widyawati.
Dalam video beredar di publik secara luas itu ada permintaan dari para wakil rakyat melalui kata kurang do'a, kurang bersyukur, kurang amal, dan banyak korupsi yang berasal dari Gandung Pardiman (Fraksi Golkar), serta kata sedekah dan infak dari Muhammad Nasir (Fraksi Demokrat).
Bahkan Ramson mengatakan: "Tadi Pak Nasir bicara soal amal, kalau periode kemaren (2018-2022) pas Dapil (daerah pemilihan) saya butuh sarung, saya WA (whatsapp) Bu Dirut langsung dikirim 2.000 sarung.
Sekarang satu sarung pun sudah nggak bisa, katanya harus ke Pak Erick (Menteri BUMN) semua gitu, kalau periode kemarin saya WA, eh tahu-tahu sudah dikirim ke Pekalongan dan Pemalang 2.000 sarung. Periode kemaren, waktu beliau masih baru Dirut".
Memang benar, soal ketidakwajaran insiden kebakaran kilang atau depo Pertamina bagaimanapun adalah fakta tak terbantahkan, tak bisa berapologisasi dan berteori lagi! Sebab, selama 3 (tiga) tahun terakhir terjadi sejumlah 7 (tujuh) kali sejak Nicke Widyawati secara resmi menjabat Dirut Pertamina, diantaranya 2 (kali) di tahun yang sama 2023 (sebelumnya insiden depo Plumpang, 3 Maret 2023). Namun, pembicaraan soal meminta sedekah sarung dari wakil rakyat yang sudah lebih dari berkecukupan juga sangat tidak wajar.
Publik akan menduga, bahwa meminta-minta saat RDP bersama mitra kerjanya itu mungkin saja sering dilakukan oleh para anggota DPR-RI, meskipun tidak ada yang mengetahuinya karena tidak disiarkan. Kebetulan sekali dibulan suci Ramadhan pembicaraan yang tidak resmi sebagaimana umumnya RDP lembaga tinggi negara itu, akhirnya terungkap juga.
Lalu, yang menjadi soal adalah apakah memang begitulah sejatinya tugas pokok dan fungsi (tupoksi) para anggota DPR-RI yang merupakan wakil rakyat? Meminta pertolongan tidak wajar, padahal BUMN Pertamina-lah yang seharusnya ditolong atas insiden kebakaran yang berkali-kali agar mampu memberikan pelayanan disektor energi kepada masyarakat.
Atau seperti karakternya Arteria Dahlan dari Fraksi PDI Perjuangan yang meminta mitra kerjanya untuk tidak membuka kasus korupsi secara terbuka menurut istilahnya aib rekan-rekan anggota DPR walaupun diketahui semua.
Aneh lagi bukan, seorang anggota DPR-RI terhormat seperti tidak bisa membedakan antara mana yang aib dan apa itu transparansi publik! Pada akhirnya dibulan suci Ramadhan 1444 Hijriyah ini semua kedok mereka terbuka seluas-luasnya kepada publik!
Semakin jamak saja hal-hal yang tidak fungsional dan tidak beretika terhormat dipertontonkan para anggota DPR-RI, jauh dari tuntunan atau suri tauladan sebuah tuntunan kerakyatan penuh hikmah kebijaksaan!
Bahwa, tampak kualitas pemahaman anggota DPR-RI pilihan rakyat terhadap tupoksi yang mereka jalankan memang sangat buruk.
Tidak hanya itu, ternyata buruknya kinerja juga tercermin dari karakter pribadi yang buruk, miskin akal sehat, hati nurani bahkan kerusakan moral (moral hazard) yang akut.
Dua kasus RDP secara terbuka itu, paling tidak telah membuktikannya, apalagi yang dilakukan mereka secara tertutup oleh para anggota legislatif tersebut. Apa memang begini cara wakil rakyat bekerja memperjuangkan nasib rakyat yang miskin atau melalui sebuah kebijakan pemihakan yang lebih memampukan mereka!?
Tidak berbeda dengan mitra kerjanya, yaitu eksekutif atas kasus penggelapan dana negara sejumlah Rp349 triliun pada Kementerian Keuangan yang diungkap Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Korupsi dan penyalahgunaan kewenangan pada lembaga pemerintahan seperti sudah menjadi kebiasaan sehari-hari (business as usual), kata orang kebanyakan soal apes dan tidaknya terkena ciduk aparat hukum. Yang belum terciduk, mungkinkah ada tindak penegakan hukum yang tebang pilih ini, aparat hukumlah yang harus menjawabnya!
Padahal publik berharap seorang Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan melalui tulisannya pada Tahun 2015 yang berjudul *Dirty Money And Development*, akan mampu menunjukkan sikap dan keinginan kuat atas pemberantasan korupsi, birokrat yang bersih atau anti uang kotor dalam pembangunan.
Malah sebaliknya, penggelapan atau uang kotor justru dilakukan oleh staf (bahkan eselon 1) pada lembaga yang dipimpinnya, dan terjadi berkali-kali juga. Bahkan, bukan hanya soal sarung tapi tontonan barang-barang mewah para kerabat staf Menteri Keuangan yang mengusik rasa Pancasilais kita, khususnya sila ke-2 Kemanusian yang adil dan beradab dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ditengah jumlah penduduk miskin pada September 2022 yang berjumlah 26,36 juta orang (9,57%) atau meningkat 0,20 juta orang dibanding per-Maret 2022. Maka, permintaan sarung anggota Komisi VII DPR-RI kepada Dirut BUMN Pertamina sungguh sebuah sikap dan perilaku tidak terpuji, memalukan dan serakah meskipun mengatasnamakan konstituen didapilnya.
Terlebih, tugas membagikan secara langsung kepada rakyat yang membutuhkan sarung atau bantuan sosial lainnya adalah kewajiban eksekutif bukan legislatif. Tidaklah wajar dan etis seorang wakil rakyat meminta-minta dengan cara tidak terhormat dan hanya melalui lisan atau chatting WA, ada aturan soal itu yang mereka buat sendiri tapi juga dilanggar!
Jika hal itu dipenuhi oleh Dirut BUMN Pertamina, maka setidaknya sejumlah 53 anggota Komisi VII, atau juga 575 anggota DPR-RI keseluruhan juga diberikan jelas semakin merusak tatanan kelembagaan negara.
Apalagi DPR-RI sudah memiliki porsi didalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 sejumlah Rp 5,86 triliun atau sebesar 0,6 persen dari total anggaran 82 Kementerian dan Lembaga (K/L) yang berjumlah Rp 977 triliun. Aokasi APBN untuk DPR-RI itu meliputi program dukungan manajemen sejumlah Rp660,8 miliar dan program pemeriksaan keuangan negara sejumlah Rp3,2 triliun.
Oleh karena itu, wajar publik miris, prihatin dan kecewa mendalam atas apa yang telah dipertontonkan oleh pejabat penyelenggara negara, baik legislatif maupun eksekutif yang masih terus merasa kekurangan harta benda.
Masyarakat atau konstituen tidaklah terlalu membutuhkan sedekah sarung dibulan suci Ramadhan dan menyambut pelaksanaan ibadah Hari Raya Idul Fitri karena masih mampu untuk membelinya. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini dan ke depan adalah pemenuhan tupoksi wakil rakyatnya sesuai konstitusi ekonomi UUD 1945 serta keteladan para pejabat pemerintahan.
Last but not least, atas kasus skandal pajak, bea dan cukai, dan kasus korupsi lainnya yang memiskinkan negara beserta rakyat akankah terus dilanjutkan atau segera diberantas!
Atau pada kasus permintaan sarung oleh DPR-RI, apakah harus rakyat terus yang mengatasi "kemiskinan" akal dan hati nurani para pejabat pemerintahan yang notabene wakil mereka tersebut!? Perlu dan patutkah masyarakat mengumpulkan dana sejumlah Rp172,5 miliar untuk kebutuhan 575 orang anggota DPR-RI membeli 2.000 sarung (misalnya 1 buah Rp150.000)!? (*)
* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta