Baliview
Refleksi Hari Kemerdekaan: Solidaritas, Nilai Penting Perjuangan I Gusti Ngurah Rai
Denpasar, Balinesia.id – Provinsi Bali memiliki pahlawan nasional kebanggaan bernama I Gusti Ngurah Rai. Sosok pemimpin Perang Puputan Margarana ini merupakan pahlawan nasional asal Bali yang gugur pada 20 November 1946 untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ketua Pemuda Panca Marga (PPM) Bali, Dr. Made Gde Putra Wijaya, menilai banyak nilai yang diwariskan oleh sosok I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya sepanjang masa perjuangan mereka mempertahankan kemerdekaan di Bali. Nilai-nilai itu sangat relevan diteladani di era ini, terlebih di masa-masa sulit ketika menghadapi pandemi Covid-19 saat ini.
Baca Juga:
“Beliau itu adalah pemimpin sejati. Banyak hal yang bisa kita amalkan di kehidupan saat ini, di kala negara menghadapi pandemi Covid-19 seperti sekatang, salah satunya adalah sikap solidaritasnya,” kata Putra Wijaya pada Balinesia.id, Selasa, 17 Agustus 2021.
Menurut Putra Wijaya, sebagai seorang pemimpin, I Gusti Ngurah Rai benar-benar bertanggung jawab pada pasukan dan teman-teman seperjuangannya. Ia menuturkan, peristiwa heroik di Marga pada tanggal 20 merupakan puncak dari perjuangan I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya. Jauh sebelum itu, I Gusti Ngurah Rai telah melakukan serangkaian perjuangan yang panjang.
“Jika kita membaca sejarah, Puputan Margarana itu adalah puncak dari serangkaian peristiwa heroik yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai. Jadi, I Gusti Ngurah Rai itu mulai ditetapkan sebagai Kepala Staf Umum Tentara Republik Indonesia atau TRI Sunda Kecil di wilayah Nusa tenggara pada awal 1946,” tuturnya.
Baca Juga:
Pada 16 April 1946, Pemerintah Republik Indonesia menugaskannya untuk membentuk Markas Besar Perdjoeangan Oemoem Dewan Perdjoeangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Sunda Kecil. Resimen itu pun disokong oleh 1.000 orang pemuda yang terlatih, yang kemudian melakukan serangkaian penyerangan terhadap pos-pos Belanda di Bali.
Akibat gerakan pasukan itu diketahui, mereka kemudian melakukan gerilya yang dikenal sebagai Long March Gunung Agung. Peristiwa itu dimulai pada 29 Mei 1946 dengan melintasi lereng Gunung Batukaru menuju Desa Gesing, Buleleng, kemudian ke arah Bali Timur, kemudian balik ke barat melalui Kabupaten Bangli.
“Nah, pada 23 Juli 1946 Pasukan Induk pimpinan Pak Rai ini tiba di Munduk Pengorengan, Buleleng. Di sana diadakan rapat pimpinan yang memutuskan bahwa Pasukan Induk MBO DPRI akan dipecah ke daerah masing-masing. Pak Rai sendiri memimpin pasukannya ke Tabanan, dan sekitar bulan Oktober 1946. Ada pejuang lain seperti I Gusti Bagus Putu Wisnu, I Gusti Ngurah Sugianyar, I Gusti Wayan Debes, dan dua mantan serdadu Jepang, Bung Ali dan Bung Made yang ikut dalam pasukan itu,” tutur Wijaya.
Setelah berpindah-pindah, kemudian pada 18 November 1946 dilakukan penyerangan terhadap Tangsi Polisi Belanda di Tabanan untuk merampas senjata dan peluru. Operasi itu berjalan sempurna. Sehari setelahnya, saat malam hari baru tersiar kabar bahwa Belanda akan menyerang Desa Marga yang kemudian direspons membentuk Pasukan Ciung Wanara. Karena tidak bisa lagi mengelak, akhirnya kontak senjata yang besar terjadi. Sebanyak 96 orang anggota Laskar Ciung Wanara gugur dalam Puputan Margarana, sedangkan di pihak Belanda ada 350 orang prajurit tewas.
Baca Juga:
“Kisah in ikan bisa kita maknai sebagai bentuk solidaritas. Solidaritasnya bukan saja dari Pak Rai, tapi juga rakyat kebanyakan, yang juga membantu perjuangan dengan segala hal yang bisa mereka bantu. Entah itu makanan, juga informasi. Jadi, solidaritas itu penting. Kita saling bantu, apalagi di tengah situasi pandemi ini,” terangnya.
Ia menambahkan, jika bukan karena solidaritas bersama, Puputan Margarana mungkin tidak akan terjadi. Kala itu, rakyat Bali sejalan dalam pikiran bahwa hanya dengan bersatu bisa mengusir penjajah.
“Tekad persatuan dan solidaritas sepenanggungan itu yang saya kira menyatukan kantung-kantung perjuangan di bawah panji Pak Rai. Ini perlu kita teladani sekarang, melalui Hari Kemerdekaan RI hari ini, mari bersama memutus penyebaran Covid-19 ini,” ajaknya. jpd