Opini
Presidensi G20 dan Agenda Cop26, Momentum Indonesia Menata Perekonomian Dunia
Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Tongkat Presidensi G20, atau kepemimpinan atas negara-negara yang tergabung dalam Kelompok 20 (Bahasa Inggris:Group of Twenty) yang lebih dikenal dengan sebutan G20 telah diberikan kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo oleh Presidensi sebelumnya Perdana Menteri Italia Mario Draghi di Roma, Italia.
Pertemuan atau Konferensi Tingkat Tinggi G20 tahun ini sesuatu yang istimewa dan telah berakhir dengan penerimaan mandat langsung Presidensi kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada KTT G20 atau G20 Leader Summit di Roma Italia yang telah berlangsung tanggal 30-31 Oktober 2021.
Dengan diberikannya mandat kepemimpinan kepada Presiden Joko Widodo, maka peran dan posisi Indonesia menjadi penting dan strategis untuk mendorong agenda kepentingan nasional atau internasional. Tentu saja KTT G20 tersebut mampu meningkatkan saling pengertian kepentingan pembangunan berkelanjutan negara-negara maju di kawasan Eropa di satu sisi dan di luar kawasan Eropa, khususnya Asia dan Afrika dibidang perekonomian, mengatasi ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran di dunia.
- Bantu Pertumbuhan Ternak, Petani Sapi Bali Diminta Lakukan Penganekaragaman Pakan
- Nyoman Tak Menyangka Kantong Darah yang Terkumpul di Denpasar Lebihi Prediksi
- Perdebatan Sengit Target Pengurangan Emisi Karbon di KTT G20
Disisi lain, pembahasan Sistem Ekonomi dunia yang lebih berkeadilan dan beradab perlu dirumuskan secara bersama sebagai tindaklanjut pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF di Nusa Dua, Bali pada tanggal 8-14 Oktober 2018 lalu.
Setelah pertemuan G20, yang tidak kalah penting adalah bagaimana peran penting Indonesia terhadap isu perubahan iklim (climate change) dunia dan komitmen pengembangan energi yang bersih dan ramah lingkungan.
Sebuah pembahasan dari Conference of the Parties (COP) atau Pertemuan Para Pihak, yang merupakan forum tingkat tinggi tahunan bagi 197 negara untuk membicarakan perubahan iklim dan bagaimana negara-negara di dunia berencana untuk menanggulanginya. COP26 berarti menandakan, bahwa pertemuan tersebut merupakan yang ke-26 sejak konvensi PBB itu diberlakukan pada 21 Maret 1994. Pada tahun ini pertemuan akan berlangsung di Glasgow - kota terbesar di Skotlandia, pada tanggal 1-2 November 2021.
Publik berharap, seorang menteri yang mendampingi presiden pada kegiatan Cop26 tersebut, dan ditengarai selama ini korporasinya menjadi salah satu yang berperan dalam tindakan deforestasi atas penambangan batubara dan penguasaan perkebunan kelapa sawit harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Rakyat Indonesia mengharapkan Presiden yang telah diberikan kepercayaan oleh negara-negara maju tidak lagi kehilangan momentum menata perekonomian Indonesia dan mengambil tindakan tegas kepada siapapun!
Komitmen G20 Dan Ekonomi Konstitusi
Kelompok Duapuluh atau G20 adalah sebuah forum yang terdiri dari 20 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Dan, secara resmi G20 dinamakan The Group of Twenty (G20) Finance Ministers and Central Bank Governors atau Kelompok Duapuluh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral, terbentuk pada Tahun 1999. G20 ini sebagai forum antarpemerintah yang secara sistematis menghimpun kekuatan-kekuatan ekonomi maju dan berkembang untuk membahas isu-isu penting perekonomian dunia. Pertemuan perdana G20 berlangsung di Berlin, 15-16 Desember 1999 dengan tuan rumah Menteri Keuangan Jerman dan Kanada.
- Investor Inggris Investasikan USD9,29 Miliar Percepat Transisi Energi dan Ekonomi Hijau RI
- Dewan Bali Sepakati Dana Cadangan hingga TA 2024 Capai Rp250 Miliar
- Perdebatan Sengit Target Pengurangan Emisi Karbon di KTT G20
Latar belakang pembentukan forum ini berawal dari terjadinya suatu krisis keuangan dunia pada Tahun1998. Selain itu, adanya pandangan yang muncul pada forum G7 mengenai kurang efektifnya pertemuan itu bila tidak melibatkan kekuatan-kekuatan ekonomi lain agar keputusan-keputusan yang mereka buat memiliki pengaruh yang lebih besar dan memperhatikan suara kepentingan-kepentingan yang selama ini tidak terakomodasi dalam kelompok sebelumnya, yaitu G7.
Kelompok 20 inilah yang menghimpun hampir 90% Produk Nasional Bruto (Gross National Product) dunia, 80% total perdagangan dunia dan dua per tiga penduduk dunia.
Mengacu pada data yang dipublikasikan oleh The World Bank dan Internasional Monetary Find (IMF) yang disampaikan pada kegiatan The World Economic Forum (WEF) Tahun 2020, isu kunci lainnya yang mendesak adalah, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil nya bagi dunia. Sebab, banyak negara yang memiliki sumberdaya alam berlimpah, tapi hasilnya hanya dinikmati oleh negara-negara maju dikawasan USA dan Eropa.
Berdasarkan data PDB, maka penguasaan terbesar berada pada negara Amerika Serikat (United State of America/USA) sejumlah US$20,93 Triliun, meskipun menyusut dari Tahun 2019 yang senilai US$21,43 Triliun menjadi 20,93 triliun pada Tahun 2020. Posisi kedua, dengan PDB US$14,7 Triliun pada Tahun 2020 berada ditangan negara Republik Rakyat China (RRC).
Peringkat ketiga hingga keempat masih ditempati oleh Jepang dan Jerman, dengan PDB masing-masing sebesar US$5,1 Triliun dan US$3,8 Triliun.
Sementara itu, Inggris menggeser posisi India (sebelumnya peringkat 5) dan berada pada urutan ke-4 PDB-nya menyusut dari US$2,9 Triliun pada Tahun 2019, menjadi US$2,7 Triliun pada Tahun 2020. Selanjutnya, Korea Selatan berhasil masuk ke peringkat ke-10 negara dengan PDB terbesar, setelah mampu menangani Covid-19 dengan baik, sehingga perekonomiannya tidak terlalu banyak terdampak, dengan realisasi PDB sebesar US$1,6 Triliun.
Kontras sekali dengan 10 negara yang memiliki PDB terkecil didunia, yang sebagian didominasi oleh negara-negara yang berada dikawasan benua Afrika. Negara dengan pendapatan perkapita terkecil peringkat ke-1, yaitu *Burundi* dengan pendapatan per kapita penduduknya hanya sejumlah US$760 per tahun. Sekitar 90% dari hampir 12 juta warganya bergantung pada pertanian subsisten.
Kelangkaan pangan menjadi perhatian utama, dengan tingkat kerawanan pangan hampir dua kali lebih tinggi dari rata-rata negara-negara Afrika sub-Sahara. Selain itu, kurang dari 5 persen penduduknya yang tersambung dengan listrik, dan kondisi ini diperparah oleh terjadinya pandemi Covid-19. Di samping itu, kurangnya infrastuktur, korupsi endemik, dan masalah keamanan menyebabkan kemiskinan ekstrem.
Pada peringkat ke-2 adalah *Sudan Selatan* merupakan negara yang sangat kaya, tapi karena di dalam negeri komoditas yang dimilikinya tidak diolah dengan baik, membuat PDB per kapita yang dihasilkannya hanya sebesar Rp11,45 juta atau setara US$163,2 Miliar.
Selanjutnya, yaitu Somalia, Republik Afrika Tengah, Malawi, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Mozambique, Liberia dan urutan ke-10 adalah Madagaskar dengan pendapatan per kapita kurang lebih Rp20,1 Juta per tahun.
Atas kenyataan yang ditunjukkan oleh data itu, maka ketimpangan antara negara-negara maju yang tergabung dalam G20 dengan negara terkecil PDB-nya sangat lebar, yaitu antara US$41.860 atau Rp596,5 Juta sampai US$760 atau setara Rp10,83 Juta (dalam kurs Rupiah). Selisih atau jurang (gap) pendapatan 10 negara terkaya dengan yang termiskin adalah sebesar Rp585,67 Juta, merupakan angka ketimpangan yang sangat besar.
Melalui komitmen G20 dan kepemimpinan Indonesia, kita berharap Indonesia mampu menjadi jembatan bagi perubahan tata kelola ekonomi dunia yang lebih adil dan beradab. Salah satu isu penting lainnya, yaitu meneguhkan komitmen Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan khususnya konstitusi ekonomi Pasal 33, dengan memberikan peran lebih besar penguasaan sumberdaya alam atas isu perubahan iklim kepada penguasaan negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara penuh.
Permasalahan penguasaan batubara misalnya di Indonesia yang selama ini menjadi sumber pembentuk harga pokok produksi listrik di Perusahaan Listrik Negara (PLN) dikuasai oleh korporasi swasta sehingga dihilir produksinya, negara dan konsumen yang dirugikan oleh permainan harganya.
Banyak kasus perusakan hutan (deforestasi) yang tidak berhasil dipenuhi komitmen reboisasinya oleh perusahaan-perusahaan atau korporasi tambang batubara swasta justru lebih banyak merugikan masyarakat setempat.
Demikian pula halnya dengan BUMN Pertamina, harus dipastikan bahwa kebijakan holding-sub holding yang telah diambil jangan sampai kemudian menjadikan posisi Pertamina disektor hulu akan sama dengan posisi PLN saat ini dalam menentukan harga pokok produksi.
Kasus yang mutakhir, yaitu kelangkaan solar yang hampir merata terjadi di wilayah Indonesia menjadi momentum penataan sektor hulu-hilir minyak dan gas bumi secara lebih integratif.
Apabila sosialisasi mengenai pasal konstitusi ekonomi ini berhasil dilakukan oleh Presiden dan menjadi komitmen para pemimpin G20, maka Indonesia akan tumbuh menjadi negara super power baru yang mempengaruhi perekonomian dunia, sebab kekayaan sumberdaya alam Indonesia memungkinkan untuk tujuan tersebut.
Artinya, isu kunci lainnya yang mendesak (urgent) adalah terkait soal pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya dinikmati khususnya oleh negara-negara maju dikawasan USA dan Eropa dengan sekaligus menyemaikan pemerataan bagi negara penghasil sumberdaya alam atau produsen bahan mentah secara lebih berkeadilan perlu diperhatikan Presiden Joko Widodo sebagai pimpinan G20. Rakyat Indonesia menunggu kiprah Presiden Joko Widodo pada perhelatan G20 dan COP26 tersebut. Semoga! (*)
Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
____________________________________________
Kolom Opini Balinesia.id dihadirkan untuk memberi ruang pada khalayak pembaca. Redaksi menerima tulisan opini dalam bentuk esai populer sepanjang 500-1000 kata yang membicarakan persoalan ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, maupun politik, yang dapat dikirim ke email [email protected]. Isi tulisan di luar tanggungjawab redaksi.