Opini
Pembahasan RUU EBET Dan Klausul Power Wheeling Harus Ditolak!
Dewan Perwakilan Rakyat Republik.Indonesia (DPR RI) melalui Ketua Komisi VII, Sugeng Suparwoto pada tanggal 15 Nopember 2023 menyampaikan, pihaknya bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) telah tuntas membahas 574 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bagi proses penyelarasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbaharukan (RUU EBET).
Proses penyelarasan itu akan segera dilakukan oleh Komisi VII DPR RI bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (MESDM), Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja (Raker). Agenda Raker itu diantaranya juga membahas 2 (dua) pasal penting, yaitu pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) EBT dan power wheeling.
Yang menjadi pertanyaan, adalah mengapa kedua klausul ini muncul kembali dalam pembahasan DIM DPR RI? Padahal KESDM melalui Menterinya Arifin Tasrif yang mewakili Presiden Joko Widodo seusai rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR RI, 24 Januari 2023 lalu telah memastikan mengeluarkan klausul itu dari DIM RUU EBET.
- UMKM Naik Kelas Bersama Bank Mandiri Melalui Program Livin’ Pasar
- Indosat Bukukan Pendapatan Rp37,4 Triliun, Kinerja Keuangan Solid Sembilan Bulan Terakhir di 2023
- Kecilnya Pengaruh PMN Pada Kinerja BUMNUMKM Naik Kelas Bersama Bank Mandiri Melalui Program Livin’ Pasar
- Indosat Bukukan Pendapatan Rp37,4 Triliun, Kinerja Keuangan Solid Sembilan Bulan Terakhir di 2023
Lalu, kenapa ada sebagian anggota DPR tetap ngotot memasukkan kembali klausul power wheeling ini dan publik atau pelanggan listrik Badan Usaha Milik Negara PT. Perusahaan Listrik Negara ( BUMN PLN) harus menolaknya!? Kenapa harus ditolak, tidak lain adalah karena power wheeling ini sama saja (analog) dengan membonceng infrastruktur jaringan daya listrik milik PLN tanpa investasi pembangunan apapun oleh pihak lain/swasta.
Selain itu, Komisi VII DPR RI jelas tidak taat pada hukum konstitusi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) dengan memaksakan power wheeling (penggunaan jaringan daya PLN oleh swasta) dimasukkan kembali dalam DIM RUU EBET.
Sebab, telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) tertanggal 14 Desember 2016 yang telah membatalkan Pasal 10 ayat 2 dan Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, khususnya terkait kewenangan penyediaan listrik bagi masyarakat oleh PLN. Konsekuensinya, tentu saja peraturan lainnya yang sejenis (termasuk Permen ESDM No 1/2015 dan No.11/2021) terkait klausul pemberian izin pengelolaan listrik kepada pihak selain PLN telah batal demi hukum konstitusi dan harus dicabut!
- Lakukan Penguatan Ekosistem Penjaminan, Asippindo Siap Dukung Program Pemerintah
- Damri Uji Coba Hubungkan Stasiun KA Cepat Whoosh di Jakarta Timur dengan Bandara Soekarno Hatta
- 5 Cara Kelola Keuangan Sehat Tanpa PayLater
Apabila Komisi VII DPR RI memaksakan klausul penggunaan jaringan daya PLN dimanfaatkan untuk kepentingan pihak lain atau swasta dalam DIM RUU EBET, berarti parlemen telah melakukan perdagangan terselubung (insider trading) melalui pembentukan sebuah UU. Apalagi, klausul ini telah ditolak oleh pemerintah yang berarti para anggota DPR RI-lah khususnya Komisi VII yang memiliki kepentingan bisnis terkait pembahasan RUU EBET ini.
Indikasi atau dugaan kuat adanya motif ekonomi ini menunjukkan wakil rakyat bukan lagi membawa kepentingan rakyat banyak atau publik, tetapi telah menjadi alat perusahaan-perusahaan/korporasi yang ingin mengamputasi mandat konstitusi ekonomi pada PLN.
Atas indikasi itulah, RUU EBET yang tengah dibahas harus ditolak dan bukanlah UU yang mendesak (urgent)! Sebaliknya, mendesak Komisi VII DPR RI agar tidak melanjutkan pembahasan penyelarasan kedua klausul tersebut dalam DIM RUU EBET dan menagih konsistensi sikap Presiden Joko Widodo melalui MESDM dalam menolaknya.
Disamping itu, pembahasan RUU EBET-pun hanyalah parsial atau masih terpisah-pisah dengan UU energi dan sumber daya mineral lainnya sehingga berpotensi tidak sinkron, tumpang tindih serta diganti berulang-ulang. UU yang sering diganti-ganti dan diubah-ubah jelas menunjukkan rendahnya kualitas legislasi para anggota DPR RI sekaligus merugikan keuangan negara.
Negara Kesatuan Republik Indonesia membutuhkan sebuah RUU yang mencakup sektor energi secara keseluruhan (EBET hanya salah satu bagian dari sektor energi saja). Bahkan, lebih dari itu adalah RUU tentang pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia secara integralistik dan komprehensif sebagai landasan hukumnya serta tidak mudah diubah-ubah oleh hanya kepentingan praktis politis-ekonomis sebagian pihak saja. Ke arah inilah tugas pokok dan fungsi DPR RI yang diberi mandat rakyat dalam siklus 5 (lima) tahunan, khususnya kepada Sugeng Suparwoto sebagai kader Partai Nasdem yang mengusung tema perubahan dan keberlanjutan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. (*)
* Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi alumnus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta