Opini
Nilai Pemuliaan Alam dan Tantangan Liberalisasi
Oleh I Ngurah Suryawan*
MASYARAKAT dan komunitas adat memiliki sumberdaya alam bersama (common resource, the commons) yang mencakup segala sumberdaya yang ada dalam danau, hutan, sungai, laut, atmosfer, yang kesemuanya bersifat alamiah, atau yang ada dalam alam-alam yang dibuat manusia seperti sistem irigasi, tanah adat, situ buatan, pemukiman, dan yang lainnya.
Pengurusan secara kolektif menjamin akses orang-orang pada masyarakat adat atas sumberdaya bersama dan terbentuk secara ekologi semenjak dahulu. Pemanfaatannya juga memiliki cerita yang dapat menjadi pembenar atas kedudukan sebagai penyandang hak akses bersama itu. Terdapat dua poin penting dalam hal ini yaitu akses adalah kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu dan lawannya adalah eksklusi yaitu kemampuan membatasi pihak-pihak lain untuk memperoleh manfaat dari sesuatu itu—dalam hal ini adalah air, hutan, dengan segala sumberdaya yang memiliki ikatan historis dan religius dengan komunitas atau masyarakat adat.
Terdapat beberapa mekanisme penting untuk memperoleh, mengendalikan, mempertahankan, dan memelihara akses, salah satunya adalah mekanisme akses melalui hak atau dikenal sebagai akses berbasis hak (rights-based acces). Mekanisme-mekanisme lain dikategorikan sebagai mekanisme akses secara struktural dan relasional yaitu akses kepada pemegang otoritas, akses atas pengetahuan, akses berbasis relasi sosial, akses melalui identitas sosial.
Baca Juga:
- https://balinesia.id/read/revitalisasi-konsep-alas-kekeran-untuk-menjaga-kelangsungan-air-bali
- https://balinesia.id/read/ppkm-level-3-penyebrangan-sanur-nusa-penida-turun
- https://balinesia.id/read/bi-proyeksikan-pemulihan-ekonomi-bali-berlanjut-di-2022
Relasi komunitas atau masyarakat adat dengan alam memiliki sejarah yang panjang. Tanah yang menjadi basisnya melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial yang terjadi dalam komunitasnya. Alam sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Jika alam diperlakukan sebagai komoditi sesungguhnya bertentangan dengan hakikat alam itu sendiri. Memperlakukan alam sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat pada dirinya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat.
Perjuangan dalam kedaulatan komunitas dengan sumber daya alamnya berlangsung dalam ruang ruang yaitu: ruang politik rekognisi dan politik redistribusi. Keduanya diletakkan dalam usaha membentuk kepengaturan tandingan (counter conduct) dengan jalan memperoleh posisi politik yang berkekuatan untuk menyuarakan dan mengubah institusi hukum dan praktik regulasi, serta administrasi negara, sehingga lebih berkeadilan yang dilakukan oleh komunitas atau masyarakat adat. Perjuangan politik rekognisi dan redistribusi masyarakat adat sebisanya diarahkan supaya bermuara pada suara politik (political voice) untuk menegasakan pengakuan sebagai warga negara yang berhak memiliki hak (the right to have rights).
Tantangan kepengaturan tandingan yang dilakukan oleh komunitas atau masyarakat adat eksklusi (penyingkiran) yang dilakukan oleh oleh “wali masyarakat” yaitu para elit komunitas dan adat itu sendiri. Kepengaturan tandingan ini—yang dilakukan oleh komunitas atau masyarakat adat—disadari atau tidak disadari bisa menggunakan “wali masyarakat” (baca: para elit adat) sebagai instrumen untuk menjalankan agenda-agendanya. Caranya adalah dengan menyisipkan rasionalitas dan kalkulasi yang sangat masuk akal untuk memproduksi regulasi, program, dan rencana aksi. Penyisipan ini bekerja melalui praktik-praktik diri (practices of the selft) berupa hasrat, kebutuhan, aspirasi, keinginan atau gaya hidup. Praktik-praktik diri inilah yang dimanfaatkan oleh negara neoliberal untuk ditejemahkan menjadi rasionalitas dan program, dengan menggunakan beragam teknik dan taktik pendisiplinan.
Fenomena yang jamak kita lihat hari ini adalah yang disebut dengan liberalisasi sumber daya alam yang merampas kedaulatan rakyat atas alamnya, yang sudah berlangsung sejak masa kolonial hingga pasca-kolonial. Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan mulai mengkapling-kapling tanah air Indonesia untuk konsesi perkebunan, kehutanan dan pertambangan, serta secara sadis mengeluarkan penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Hubungan dan cara penduduk menikmati hasil dari alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan symbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh masyarakat.
Jika alam dirampas dan direbut oleh investasi, terdapat setidaknya tiga kehilangan yaitu: pertama, hilangnya kehidupan social atau keseharian terkait dengan tanah yang hilang tersebut. Kedua, hilangnya objek membuka kemungkinan bagi hilangnya pengetahuan tentang objek tersebut. Tidak hanya pengetahuan tentang tanah yang hilang melainkan juga kehidupan social atau keseharian yang pernah terjadi terkait dengan tanah itu.
Setiap subjek berkesempatan untuk membangun pengetahuan intersubjektif tentang alam dan kehidupan social atau keseharian yang hilang itu. Pengetahuan itu tersimpan dalam ingatan setiap subjek yang mengalaminya dan hanya dikeluarkan pada momentum tertentu. Kehilangan ketiga yaitu hilangnya identitas kolektif dan intersubjektif yang terbentukdari kehidupan sosial atau keseharian bersama tanah itu. Tanah adalah subjek yang turut membentuk identitas para aktor yang terikat dan mengikatkan diri padanya. Hilangnya alam berarti juga hilangnya nilai-nilai lama yang dilekatkan pada alam itu yang kemudian tergantikan oleh nilai-nilai baru.
Pengkaplingan dan pemutusan hubungan masyarakat dengan air dan alamnya adalah penghentian secara paksa relasi komunitas dengan kekayaan alamnya. Air dan kekayaan alam tersebut kemudian masuk ke dalam modal perusahaan kapitalistik. Perubahan dari alam menjadi sumberdaya alam berakibat sangat pahit bagi komunitas dan masyarakat adat yang harus tersingkir dari tanah asalnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi tenaga kerja atau buruh upahan.
Seluruh usaha ini adalah proses memaksa untuk menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja dan terikat pada tanah dan alamnya. Orang-orang ini hanya mengandalkan pada tenaga yang melekat pada dirinya saja lalu menjadi pekerja bebas. Sebagian dari mereka inilah yang kemudian pergi dari tanah-tanah mereka di desa untuk ke kota mendapatkan pekerjaan. Memasukkan alam dan juga tenaga kerja dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja kehidupan mereka pada mekanisme pasar. Situasi seperti ini terang saja akan menimbulkan gejolak dan konflik di tengah masyarakat. Masuknya kehidupan masyarakat dalam mekanisme pasar menjadi keniscayaan di tengah merangseknya investasi merebut ruang-ruang hidup masyarakat. Mekanisme pasar dan urat nadi kapitalisme dapat bertahan lama hanya dengan melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat. Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan.
-------------
*Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Reseach Centre (WaRC). Tulisan ini adalah tanggapan pada Kelompok Diskusi Terpumpun yang dilaksanakan Lingkar Studi Batur dan Yayasan Puri Kauhan Ubud.