Membongkar 5 Masalah di Dunia Pendidikan Tinggi, Tak Hanya Soal Bahlil

Membongkar 5 Masalah di Dunia Pendidikan Tinggi, Tak Hanya Soal Bahlil (TrenAsia/Debrinata)

JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kembali menjadi pusat perhatian publik karena gelar doktor yang diraihnya dalam waktu kurang dari dua tahun saat menempuh program S3 di Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia (UI).

Terbaru, Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA UI) menangguhkan gelar doktor yang diberikan kepada Bahlil Lahadalia. Sebelumnya, Bahlil dinyatakan lulus dalam Sidang Promosi Terbuka Gelar Doktor di UI beberapa waktu lalu.

Keputusan tersebut tercantum dalam Nota Dinas Nomor: ND 539/UN2.MWA/OTL.01.03/2024 yang diterbitkan Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) UI, Yahya Cholil Staquf.

Surat yang dikeluarkan pada Selasa, 12 November 2024 ditembuskan kepada Ketua dan Sekretaris Senat Akademik UI, serta Ketua dan Sekretaris Dewan Guru Besar UI, Sekretaris Universitas, dan Kepala Biro Humas dan KIP.

UI telah melakukan evaluasi mendalam terhadap pengelolaan Program Doktor (S3) di SKSG sebagai bagian dari komitmennya untuk menjaga kualitas dan integritas akademik.

Tim Investigasi Pengawasan Pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang terdiri dari unsur Senat Akademik dan Dewan Guru Besar, telah melaksanakan audit investigatif terhadap program S3 di SKSG, mencakup pemeriksaan persyaratan penerimaan mahasiswa, proses pembimbingan, publikasi, syarat kelulusan, dan pelaksanaan ujian.

Sebagai bagian dari upaya ini, sesuai dengan tugas dan kewajibannya, Dewan Guru Besar (DGB) UI akan menggelar sidang etik terkait potensi pelanggaran yang terjadi dalam proses pembimbingan mahasiswa Program Doktor (S3) di SKSG. Langkah ini diambil untuk memastikan penyelenggaraan pendidikan di UI berjalan secara profesional dan terhindar dari potensi konflik kepentingan.

Seiring dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh UI, kelulusan BL mahasiswa Program Doktor (S3) SKSG ditangguhkan, sesuai dengan Peraturan Rektor Nomor 26 Tahun 2022, dan akan mengikuti keputusan sidang etik.

Terkait hal tersebut, berikut masalah pendidikan di Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini. Yuk, simak!

Masalah Pendidikan di Indonesia

1. Gelar Doktor Honoris Causa Raffi Ahmad

Pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa secara sembarangan dapat merusak integritas perguruan tinggi. Gelar ini seharusnya diberikan kepada orang yang telah memberikan kontribusi besar terhadap ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Raffi Ahmad menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universal Institute of Professional Management (UIPM Thailand). Namun, ternyata UIPM belum memiliki izin operasional di Indonesia. Raffi menerima gelar Dr. HC di bidang Event Management and Global Digital Development.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Prof. Abdul Haris menyatakan gelar tersebut tidak sah karena UIPM tidak memiliki izin operasional untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, setiap perguruan tinggi wajib memiliki izin operasional, termasuk perguruan tinggi asing yang ingin menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia.

2. Universitas Lambung Mangkurat Disanksi Penurunan Akreditasi

Akreditasi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mengalami penurunan dari A menjadi C. Hal ini imbas dari kasus manipulasi jabatan guru besar yang melibatkan 11 dosen di Fakultas Hukum ULM pada bulan Juli lalu.

Para dosen tersebut diduga membayar antara Rp70 juta hingga Rp135 juta untuk mengurus permohonan guru besar. Uang tersebut diberikan kepada agen yang akan menerbitkan artikel ilmiah internasional, sebagai salah satu syarat utama untuk memperoleh gelar guru besar.

Gelar guru besar yang dimiliki 11 dosen tersebut dicopot oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Menyusul skandal tersebut, investigasi lanjutan dilakukan dan mengungkap keterlibatan 20 dosen lain dari sembilan fakultas berbeda dalam kasus serupa.

Skandal guru besar yang menyebabkan penurunan akreditasi ULM ini diduga berawal dari program percepatan jabatan guru besar yang dirancang oleh Rektor ULM, Prof. Ahmad Alim Bachri.

Direktur Dewan Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) Ari Purbayanto membenarkan penurunan ini, namun pemerintah telah memberikan kesempatan bagi ULM untuk mengajukan proses reakreditasi. Pengajuan reakreditasi harus dilakukan dalam jangka waktu dua bulan atau paling lambat hingga 19 November 2024.

3. Biaya UKT Mahal

Perwakilan BEM SI dari Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Maulana Ihsan Huda mengungkapkan UKT di kampusnya naik hingga 500%. Pihak rektorat juga tidak memberikan respons apapun terhadap tuntutan mahasiswa terkait kenaikan UKT. Ihsan menyatakan BEM UNSOED telah beberapa kali melakukan audiensi dengan pihak rektorat, namun tidak ada perubahan signifikan dari audiensi tersebut.

Kenaikan UKT di berbagai kampus negeri memicu demonstrasi yang dilakukan oleh BEM di sejumlah universitas, seperti Universitas Riau (Unri), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Sumatera Utara (USU), dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap penetapan UKT tinggi yang memberatkan mahasiswa.

4. KIP Kuliah Salah Sasaran

Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada mahasiswa dari keluarga miskin. KIP Kuliah menjadi sorotan setelah terungkapnya kasus penerima salah sasaran. Dugaan penyaluran bantuan KIP Kuliah yang salah sasaran tidak hanya terjadi di beberapa kampus saja.

Seperti yang terjadi di Universitas Diponegoro (Undip), seorang mahasiswa berinisial CJM yang merupakan seorang selebgram diketahui menerima bantuan KIP Kuliah.

Terkait hal ini, banyak netizen yang memperbincangkan mahasiswa yang memanfaatkan KIP Kuliah hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Padahal, mahasiswa tersebut sudah berada dalam kondisi berkecukupan, bahkan ada yang merupakan selebgram yang telah menghasilkan pendapatan dari endorse dan kerjasama dengan berbagai produk.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan perlunya pembaruan sistem verifikasi yang melibatkan dua pihak, yaitu pemerintah dan universitas. Dede menilai kondisi ekonomi penerima dapat berubah, seperti yang terjadi pada CJM. Mahasiswa Undip tersebut pada saat pendaftaran memang memenuhi syarat untuk menerima KIP Kuliah.

Pada awal kuliah, CJM hidup bersama ibu tunggal dan memiliki tanggungan adik. Karena alasan tersebut, CJM mencari pekerjaan sampingan dan akhirnya menjadi selebgram yang menerima endorsement.

“Ketika sudah mampu, seharusnya mereka tidak lagi menerima KIP Kuliah. dan kampus serta Kementerian Pendidikan adalah yang tahu kondisi ini melalui review tahunan. Peninjauan penerima KIP tidak hanya harus berdasarkan prestasi akademik seperti nilai IPK saja, tetapi juga kondisi ekonomi mahasiswa tersebut,” kata Dede.

5. TPPO Berkedok Magang di Jerman, Mahasiswa Jadi Korban Eksploitasi

Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkap kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang menggunakan modus program magang untuk mahasiswa ke Jerman atau ferienjob.

Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro menyatakan dalam kasus ini diduga ada keterlibatan 33 kampus atau universitas. Bahkan, korban dalam kasus perdagangan manusia yang diduga melibatkan pihak universitas mencapai 1.047 mahasiswa.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkapkan kasus TPPO berkedok program magang di Jerman ini terungkap setelah empat mahasiswa yang sedang mengikuti ferienjob (kerja paruh waktu untuk mahasiswa) melapor ke KBRI Jerman.

“Mahasiswa tersebut dipekerjakan secara non-prosedural sehingga mahasiswa tersebut tereksploitasi,” kata Trunoyudo.

Awalnya, para mahasiswa menerima sosialisasi dari PT CVGEN dan PT SHB mengenai program magang di Jerman. Saat pendaftaran, mahasiswa diminta membayar biaya sebesar Rp150.000 ke rekening PT CVGEN, serta 150 euro (sekitar Rp2,5 juta) untuk pembuatan letter of acceptance (LOA) kepada PT SHB.

Setelah LOA terbit, korban harus membayar lagi sebesar 200 euro (sekitar Rp3,4 juta) kepada PT SHB untuk pembuatan surat persetujuan (approval) otoritas Jerman atau izin kerja (working permit).

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 15 Nov 2024 

Editor: Redaksi

Related Stories