Baliview
Membaca Kematian dalam Lontar-lontar Kuno Bali
Denpasar, Balinesia.id – Lontar-lontar kuno di Bali mengandung berbagai macam pengetahuan. Banyak lontar mengajarkan seluk-beluk menjalani kehidupan, namun tidak tidak sedikit pula yang mengajarkan pengetahuan tentang kematian.
Dua teks kuno Bali yang membicarakan kematian adalah Kakawin Aji Palayon dan Tutur Swacanda Marana. Keduanya dibincangkan dalam kegiatan Ulas Lontar 2 “Sastra Kapatian: Persiapan Kematian dan Perjalanan Jiwa dalam Sastra” yang dilaksanakan Unit Lontar Universitas Udayana secara daring, Jumat, 29 April 2022.
Kedua teks tersebut diulas oleh dua pembicara, masing-masing adalah Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., dan Staf Unit Lontar Universitas Udayana, I.B. Anom Wisnu Pujana, S.S.
Suarka menjelaskan kematian menurut Kakawin Aji Palayon adalah peristiwa berpisah dan keluarnya Atma dari raga. Peristiwa ini ditandai dengan lenyapnya panca indera, sedangkan racun pikiran dilebur oleh kekuatan sepuluh aksara suci dan ajian kalepasan.
Baca Juga:
- https://balinesia.id/read/hadir-dua-kali-seminggu-viet-jet-air-hubungkan-bali-vietnam
- https://balinesia.id/read/provinsi-bali-target-prevalensi-stunting-turun-ke-6-15-persen-pada-2024
- https://balinesia.id/read/rektor-unwar-sebut-tren-pandemi-ke-endemi-makin-menguat
“Pada saat lepas dari raga, Atma dikatakan merasa senang dan sangat lega, terbebas dari belenggu duniawi,” katanya menjelaskan teks yang dikarang pujangga Bali, Ida Bagus Putu Bek dari Geria Gede Gianyar itu.
Setelah peristiwa kematian itu, Atma akan memulai perjalanan kematiannya yang dimulai dengan melakukan pemujaan di Sanggah Kemulan untuk memohon izin. Usai memohon izin ke Sanggah Kemulan, Atma kemudian datang ke Pura Dalem sebelum melalui berbagai tahapan perjalanan di dunia ilahi.
“Tujuan akhir dari Atma adalah menyatu dengan Paramatma, namun tidak semua Atma bisa mencapai hal itu, sehingga ada yang dari mereka juga menuju surga maupun neraka sebagaimana karmanya ketika hidup,” ucap Suarka yang juga dosen Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana itu.
Sementara itu, Wisnu Pujana menjelaskan pengetahuan Tutur Swacanda Marana sebagai sebuah tutur yang sarat akan filsafat yoga. Secara harfiah, Swacanda Marana yang menjadi judul teks tersebut dapat diartikan sebagai mati karena keinginan sendiri.
“Dalam Asta Dasa Parwa atau Mahabarata, swacanda marana adalah pengetahuan rahasia tentang kematian yang dinaugerahkan kepada Bhisma untuk bisa memilih waktu, jalan, dan cara matinya sendiri,” kata jebolan Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana ini.
Menurut Tutur Swacanda Marana, kematian merupakan hilangnya unsur-unsur penunjang kehidupan. Ada berbagai ciri fisik yang terkait kematian, misalnya hilangnya denyut nadi, penglihatan yang melemah, bibir pucat, lidah yang tidak lagi bisa digunakan sebagai alat ucap, kulit keriput, berkeringat tapi airnya tidak menetes, serta rambut yang mulai rontok.
“Secara magis juga ada tanda-tanda kematian, misalnya tangan yang tampak putus, dan bayangan yang tampak tidak menunjukkan bayangan tangan dan kaki,” jelasnya.
Lebih jauh ia mengatakan bahwa untuk melewati perjalanan kematian yang benar, seseorang hendaknya menapaki yoga samadhi. “Ada tiga jalan atau nadi traya dalam tubuh manusia yang terkait dengan kematian. Ketiganya sebagai jalan nasi, air, dan prana. Kematian yang dianjurkan adalah ketika Atma melalui jalur prana,” katanya. jpd