Budaya
Dalam Sastra Jawa Kuno, Keindahan adalah Jalan Menuju Kebenaran
Denpasar, Balinesia.id - Sastra Jawa Kuno menjadi salah satu genre sastra tradisional yang telah ada sejak berabad-abad silam. Periode panjang perjalanannya sejak abad ke-8 Masehi di Jawa hingga dibawa, hidup, berkembang, dan diakui sebagai bagian kesusastraan Bali purwa (tradisional) telah melahirkan banyak karya.
Demikian dinyatakan akademisi Politeknik Negeri Bali, Ida Bagus Putu Suamba, dalam Rembug Sastra Purnama Bhadrawada bertepatan pada Purnama Sasih Karo, Sabtu (24/7/2021). Diskusi yang digelar daring itu juga menjadi peringatan HUT ke-38 rembug sastra yang biasanya digelar di Pura Agung Jagatnatha Denpasar itu.
Suamba memaparkan, kesusastraan tidak hanya tentang keindahan, namun juga mengandung nilai filsafat, kebenaran, cinta kasih, persaudaraan, kepahlawanan, dan lain-lain. Hal itulah yang ditunjukkan oleh beragam karya sastra Jawa Kuno. Sastra Jawa Kuno sendiri adalah genre sastra yang menggunakan bahasa Jawa Kuno, sebuah bahasa lingua franca atau bahasa pergaulan masyarakat Nusantara antara abad ke-8 hingga ke-15.
Baca juga: https://balinesia.id/read/pulau-bali-pulau-sastra
Salah satu contoh ungkapan yang disebutkannya mengandung tidak saja keindahan adalah Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Dalam karya sastra Jawa Kuno inilah ungkapan "Bhinneka Tunggal Ika" diambil, kemudian menjadi spirit mempersatukan kebhinekaan. "Ini bukan melalui kekuatan militer, ekonomi, politik, namun sastra yang menyatukannya," katanya.
Nilai-nilai sastra hakikatnya tidak pernah lekang oleh zaman menjadi inspirasi dalam menapaki kehidupan, apalagi dalam keadaan hidup sulit saat ini. Mengenai estetika, seorang sastrawan atau pangawi adalah para pemburu dan memuja keindahan. Mereka mencipta dan membangun keindahan atau lango melalui rangkaian kata agar bisa dinikmati oleh masyarakat. Lango atau keindahan menjadi perhatian utama mereka, sehingga karya bisa ngulangunin atau ngalangenin.
"Lango atau kalangwan atau kalengengan melukiskan perasaan yang hampir luluh dengan objek yang menimbulkan rasa indah sehingga ada proses melupakan sesuatu pada dirinya, melupakan ini tidak semata secara psikologis, namun juga spiritual, sebab keindahan mempunyai kekuatan atau sakti penyucian atas ketidaksucian atau mala atau cuntaka. Di dalam ajaran teistik, lanjutnya, Tuhan dilukiskan sebagai sumber keindahan, sedangkan dalam ajaran Siwaistik, keadaan penyatuan dengan Tuhan tertinggi dirumuskan dengan satyam, siwam, sundaram (kebenaran, kesucian dan keindahan).
"Jika, rumusan mendalam ini dipahami secara menyeluruh, maka sundaram itu identik dengan kebenaran dan kesucian pada makna sejati, sehingga mencari keindahan berdasarkan kebenaran dan kesucian, aktivitas berkesenian pun merupakan bentuk pemujaan," katanya.
Baca juga: https://balinesia.id/read/happy-salma-sastra-bentuk-karakter-manusia
Baca juga: https://balinesia.id/read/tema-pkb-ke-44-angkat-kemuliaan-danau
Ia menjelaskan, pengertian rasa dalam kesusastraan bersifat spiritual, rohani dan transendental, berbeda konsepnya dibandinh pengertian rasa dalam bahasa Indonesia saat ini. Teori rasa masih bersumber dari India, namun secara tekstual belum ada yang membahas itu dalam sudut pandang Jawa Kuno, itulah yang menyebabkan sangat menarik untuk menempatkan keindahan dalam kaidah keilmuan untuk memperkuat praktek seni, lebih-lebih jika ada teori estetika tersendiri menurut konsep kesusastraan Jawa Kuno.
"Dengan demikian, hendaknya akademisi dapat menggali konsep keindahan dan disampaikan ke masyarakat agar kesenian yang hidup mendapat kekuatan filosofi dan estetika, tidak hanya kreatif tapi berkesenian juga mesti selaras dalam konsep Catur Purusartha," katanya.
Lebih jaih, Suamba mengatakan lango bisa dialami seseorang saat rasa itu ada, lango lebih banyak menyangkut keadaan hanyut luluh pada kondisi keindahan. Ada rasa takjub atas suatu keindahan sehingga luluh dalam keindahan. Rasa sebagai substance (dharma), sementara lango adalah attibutes (dharmin). Lango lebih mengacu pada rasa kagum. Maka, jaya atau menang atas keindahan penting dilakukan oleh seniman agar mendapat rasa yang utama dan tidak terbelenggu dalam rasa. Artinya, memperoleh keindahan tanpa panca indra. jpd