Bali Community
Berpeluang Mengubah Laku Budaya, Daerah Pegunungan Bali Kini Jadi Ekspansi Kekuasaan dan Kapital
Bangli, Balinesia.id – Antropolog yang juga akademisi Universitas Warmadewa (Unwar) Bali, I Ngurah Suryawan memandang telah terjadi perubahan politik representasi di kawasan pegunungan Bali, khususnya di Kintamani. Jika dalam studi-studi antropologi awal yang membahas tentang Bali daerah pegunungan tidak mendapat perhatian yang mendalam, kini menunjukkan kondisi yang terbalik.
“Politik representasi pegunungan Bali, khususnya di Pegunungan Kintamani telah berubah, kini daerah pegunungan justru menjadi ekspansi kekuasaan dan kapital pariwisata,” kata Ngurah ketika menjadi narasumber dalam Rembug Sastra Sarasastra bertajuk “Batur Atiti Masa: Peradaban Batur Masa Kuno, Spiritualitas, dan Respon Kini”, Minggu, 30 April 2023 kemarin.
Diskusi tersebut merupakan inisiator dari Yayasan Janahita Mandala Ubud yang bekerja sama dengan Pura Ulun Danu Batur, Desa Adat Batur, serta Komunitas Lingkar Studi Batur. Forum tersebut merupakan salah satu kegiatan dari Program “Amrih Agra Bhawana Bali: Menelusuri Jejak Kearifan Pegunungan Bali” yang digulirkan yayasan.
Baca Juga:
Suryawan mengamati, tampak ada pembentukan atau penciptaan kembali ruang (reorganisasi ruang) yang terjadi di kawasan pegunungan bernilai sejarah bagi Bali itu. Setidak-tidaknya pihaknya mengamati ada dua pembentukan kembali ruang yang tampak, yakni pembentukan kembali ruang ritual dan pembentukan kembali ruang kapital, misalkan yang terjadi di Pura Ulun Danu Batur.
“Reorganisasi jejaring yang semakin berkembang dan meluas dari Pura Ulun Danu Batur menggunakan relasi properti berupa ritual, tanah, dan persembahan-persembahan yang semakin berubah dinamis,” katanya dalam kegiatan yang juga mengundang Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) I Gusti Made Suarbhawa dan akademisi akademisi Universitas Hindu Indonesia, I Gde Agus Darma Putra itu.
Baca Juga:
Reorganisasi ruang ritual, lanjutnya, juga tampak melalui jejaring yang muncul antara otoritas politik lokal kerajaan-kerajaan pesisir Bali dan upaya negosiasi untuk menentukan otoritas ritual. “Ada pula jaringan kekuasaan dan negara melalui pertukaran properti dan akumulasi moda ekonomi dalam ritual,” kata dia.
Sementara itu, reorganisasi ruang kapital tampak melalui kapitalisasi tanah-tanah yang terjadi demikian masif di kawasan tersebut. Ia mengamati tanah-tanah duwe atau milik pura (dan juga desa, red) di Kintamani dari waktu ke waktu kian terkurung oleh laju bisnis pariwisata.
Kapitalisasi yang “merampas” tanah-tanah milik masyarakat berikut sumber dayanya dinilai akan menciptakan kelompok pekerja yang terpaksa atau bahkan secara sukarela masuk dalam sistem kapital yang muuncul. Kondisi ini diyakini memungkinkan mengubah laku masyarakat di kawasan tersebut. “Ekspansi reorganisasi kapital ini lambat laun akan memaksa perubahan kehidupan di Bukit Cintamani Mmal,” tegas penulis banyak buku esai kritis ini. jpd