Baliview
AS Hadapi Badai Utang, Ini Tandanya
WASINGTON - AS dilaporkan tengah mengalami badai utang. Badai keuangan yang terjadi di Negeri Paman Sam ditemukan baik di sektor publik dan swasta.
Adapun badai utang kini telah tampak ke permukaan saat pinjaman mulai menumpuk. Ditambah lagi, kepercayaan peminjam pada Negeri Adidaya tampaknya mulai goyah.
Badai Utang AS dipicu oleh polarisasi politik telah menghambat kemampuan AS untuk memenuhi kewajiban utang kredit negara. Sedangkan pada sektor perbankan, tekanan berasal dari kondisi kredit yang lebih ketat dan kebijakan The Fed.
Mengutip Insider Senin, 14 Agustus 2023, berikut 4 tanda peringatan bahwa AS tengah menghadapi Badai Utang.
1. Tingkat Utang Swasta Berkembang Pesat
Tingkat utang sektor swasta di AS dilaporkan berkembang pesat dan mencapai rekor baru tahun ini. Menurut catatan The Fed, utang kartu kredit AS telah melampaui US$1 triliun untuk pertama kalinya.
Pinjaman tanpa agunan juga mencapai rekor terbaru. KTA AS tercatat mencapai US$225 miliar pada 2023.. Kemudian, utang perusahaan tumbuh hingga 6,2% tahun lalu atau kisaran US$7,8 triliun.
Kemudian, untuk utang publik, saldo utang nasional melampaui US32 triliun. Angka tersebut memiliki potensi tambahan utang kisaran US$5 miliar per hari dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.
- Kota Podomoro Tenjo Terus Kembangkan Produk Properti Terdepan dan Berkelanjutan
- Inflasi Produsen AS Naik di Atas Ekspektasi, Rupiah Berpotensi Loyo Lagi
- Hati-Hati, Sebagian Besar Video di TikTok tentang Autisme Tidak Akurat
2. Default Perusahaan Melonjak
Kenaikan suku bunga menyebabkan banyak perusahaan mulai terbebani oleh utang. Selain itu, volume gagal bayar di perusahaan AS pada 2023 melampaui total tahun lalu.
Menurut Moddy's Investor Service , ada kisaran 55 perusahaan AS gagal bayar utang tahun ini. Angka ini meningkat 53% dari awalnya hanya kisaran 36% perusahaan pada 2022.
Berdasarkan catatan, jumlah gagal bayar utang perusahaan AS mencapai US$1 triliun jika AS menghadapi kemungkinan resesi pada 2023.
3. Tunggakan Bayar Utang Menumpuk
Selain default, tunggakan pinjaman juga terjadi baik secara perorangan maupun perusahaan.
Di sektor real estat komersial, persentase pemilik properti komersial yang terlambat membayar selama 30 hari naik menjadi 3% pada kuartal pertama tahun ini.
Menurut catatan Mortgage Bankers Asosiasi, ini membalikkan tren penurunan yang sudah ada sebelumnya. Hal ini tercermin dari tingginya tingkat tunggakan pinjaman dengan jaminan obligasi komersial yang terus meningkat di tahun ini.
Sementara itu, mengutip data The Fed, tingkat tunggakan untuk semua pinjaman pribadi naik menjadi 2,23% pada kuartal pertama tahun ini. Angka ini naik dari hanya 1,7% pada kuartal pertama 2021.
- Perusahaan Perlu Tingkatkan Kapasitas Governansi untuk Adopsi ESG
- Bank BRI Ingatkan Nasabah Segera Validasi NIK Jadi NPWP, Supaya Tidak Terkena Tarif PPh
- 3 Langkah Baru Pemerintah untuk Sebarkan 'Virus' ESG
4. Bank Mulai Waspadai Utang Berisiko
Bank sudah mencoba membuang pinjaman yang memiliki risiko gagal bayar lebih besar. Ini dilakukan meski Bank harus menjual aset berisiko dengan harga diskon.
Sebagaimana diketahui, strategi ini dilakukan JPMorgan, Goldman Sachs, dan Capital One. Tiga lembaga keuangan besar di Wall Street ini mencoba menyingkirkan aset real estat komersial besar.
Bank-bank juga menarik kembali transaksi utang sama sekali karena kondisi keuangan semakin ketat. Aksi ini tentunya menimbulkan masalah bagi industri real estat komersial. Pasalnya, ada sekitar US$1,5 triliun utang CRE yang akan jatuh tempo di tahun-tahun mendatang, dan perlu dibiayai kembali.